28/07/11

SANTO YOHANES MARIA VIANNEY

Santo Yohanes Maria Vianney dilahirkan tahun 1786, dekat Lyons, Perancis, masa awal kehidupannya dibayang-bayangi dengan ketakutan Revolusi Perancis.
Vianney termasuk calon imam yang mengalami kesulitan dalam belajar. Ia tidak pernah diperhitungkan akan menjadi imam yang istimewa secara intelektual. Setelah masa-masa kesulitan belajar dilaluinya, akhirnya ia ditahbiskan menjadi seorang imam pada tanggal 13-Agustus-1815. Karena keterbatasannya ini, tahun 1818 ia ditunjuk menjadi Pastor Paroki di sebuah desa kecil yang terpencil di desa Ars, sebuah desa dengan 230 jiwa.
Sebelumnya Uskup sudah memberitahukan bahwa Vianney akan menemukan praktek-praktek keagamaan yang memprihatinkan di wilayah itu, ‘hanya ada sedikit kasih Tuhan di paroki itu, Anda adalah orang yang ditempatkan di sana’, demikian pesan Uskup. Karenanya, dengan kesadaran yang mendalam, ia harus pergi ke tempat itu untuk mewujudkan kehadiran Kristus dan memberikan kesaksian tentang kasih yang menyelamatkan. “[Lord], grant me the conversion of my parish, I am willing to suffer whatever you wish, for my entire live !” ([Tuhan], perkenankan aku merasuki parokiku, aku sudi menanggung penderitaan apapun menurut kehendak-Mu, untuk seluruh hidupku!”), demikian doa Vianney.
Setibanya di paroki itu, Vianney memilih Gereja sebagai rumahnya. Ia memasuki gereja, menelusuri, menyelaminya dan tidak pernah meninggalkannya hingga setelah Doa Malaikat Tuhan pada sore hari.
Kisah hidupnya memperlihatkan kenyataan bagaimana Vianney ‘tinggal’ secara aktif di seluruh wilayah parokinya. Secara teratur dirinya mengunjungi keluarga-keluarga dan orang-orang sakit. Mengorganisir perutusan-perutusan yang merakyat dan perayaan-perayaan iman. Mengumpulkan dan mengatrur dana-dana untuk karya-karya misioner dan karikatif. Ia juga membangun dan memelihara gereja parokinya, memperhatikan para yatim piatu dan para guru “Providence” (sebuah institusi yang ia dirikan). Bersama umat, ia menyediakan pendidikan anak-anak, mendirikan kerja sama persaudaraan dan mengumpulkan kaum awam untuk bekerja bersama dirinya.
Vianney ditempatkan kembali di Ars selama sisa hidup imamatnya. Sejak itu ia menjadi terkenal karena bimbingan rohani yang dilakukan. Ia bisa memberikan bimbingan kepada beribu-ribu orang yang datang ke gerejanya, karena tertarik oleh kesucian hidupnya. Pengorbanannya untuk keselamatan jiwa-jiwa yang telah dipercayakan kepadanya, khususnya melalui pelayanannya dalam Sakramen Tobat, itu sungguh luar biasa.
Vianney ditengarai memiliki watak yang ramah dan periang. Watak itu dikombinasikan dengan cara-cara hidup yang menekankan semangat asketis dan dilengkapi dengan karunia-karunia penglihatan super natural yang luar biasa dari dalam jiwa-jiwa orang yang sedang ia bimbing. Ia diberi hadiah surgawi pada 4-Agustus-1859 dan dikanonisasi oleh Paus Pius XI pada tahun 1925. Pesta namanya dirayakan setiap tanggal 4-Agustus.
Vianney dihormati sebagai model Santo Para Pastor Paroki, kehidupan kesucian Vianney menjadi model pelayanan imamat, sebuah model yang inspiratif terhadap kesetiaan Kristus yang semestinya direfleksikan ke dalam kesetiaan para imam.
(Sumber : Buletin Refleksi Tahun Imam – KAJ)
Read more .....

25/07/11

PEMBAGIAN TANAH ANTARA SUKU-SUKU

Semua orang yang diam di pegunungan, mulai dari gunung Libanon sampai ke Misrefot-Maim; semua orang Sidon. Aku sendiri akan menghalau mereka dari depan orang Israel; hanya undikanlah dahulu negeri itu di antara orang Israel menjadi milik pusaka mereka, seperti yang Kuperintahkan kepadamu. Oleh sebab itu, bagikanlah negeri ini kepada suku yang sembilan itu dan kepada suku Manasye yang setengah itu menjadi milik pusaka mereka." Bersama-sama dengan suku Manasye yang setengah lagi, orang Ruben dan orang Gad telah menerima milik pusaka mereka, yang telah diberikan Musa kepada mereka di sebelah timur sungai Yordan, seperti yang ditentukan Musa, hamba TUHAN itu, kepada mereka – (Yos 13:6-8).
Suku-suku yang berbeda berangkat dari Mesir bersama seperti pada Kitab Keluaran (Kemudian berangkatlah orang Israel dari Raamses ke Sukot, kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak. Juga banyak orang dari berbagai-bagai bangsa turut dengan mereka; lagi sangat banyak ternak kambing domba dan lembu sapi. - Kel 12:37-38).
Di Pelestina orang-orang Israel yang lain bergabung dengan mereka (Seluruh orang Israel, para tua-tuanya, para pengatur pasukannya dan para hakimnya berdiri sebelah-menyebelah tabut, berhadapan dengan para imam yang memang suku Lewi, para pengangkat tabut perjanjian TUHAN itu, baik pendatang maupun anak negeri, setengahnya menghadap ke gunung Gerizim dan setengahnya lagi menghadap ke gunung Ebal, seperti yang dahulu diperintahkan oleh Musa, hamba TUHAN, apabila orang memberkati bangsa Israel - Yos 8:33)
Mereka tidak berasal dari satu ras, juga mereka bukan suatu kelompok yang hubungannya sudah terjalin erat dan tentu saja mereka bukanlah suatu bangsa yang sudah terorganisir. Dua dari suku-suku ini memegang peranan utama, yaitu Efraim di utara dan Yehuda di selatan.
Di antara suku-suku nomaden sebagaimana diceritakan, anggota-anggota setiap suku mengakui menjadi keturunan dari pendiri sukunya, yang adalah seorang yang terkemuka pada masa lalu, yang namanya mereka gunakan turun temurun. Sebagaimana kaum Israel menganggap diri mereka keturunan Yakub-Israel, masing-masing suku dari ke 12 suku menganggap sukunya sebagai keturunan dari salah satu dari anak-anak leluhurnya Yakub, yang dari padanya mereka menerima nama-nama mereka.
Dalam kenyataannya mereka terdiri dari 13 suku dan bukan 12. Mari kita bandingkan daftar nama anak-anak Yakub dalam kitab Kejadian dan kitab Yoshua.
Kitab Kejadian 35 (Adapun anak-anak lelaki Yakub dua belas orang jumlahnya. Anak-anak Lea ialah Ruben, anak sulung Yakub, kemudian Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar dan Zebulon. Anak-anak Rahel ialah Yusuf dan Benyamin. Dan anak-anak Bilha, budak perempuan Rahel ialah Dan serta Naftali. Dan anak-anak Zilpa, budak perempuan Lea ialah Gad dan Asyer. Itulah anak-anak lelaki Yakub, yang dilahirkan baginya di Padan-Aram - Kej 35:22b-26)
Dalam kitab Yosua 13-18, daftar ke 12 suku  mempunyai kesamaan untuk nama-nama berikut : Ruben, Simeon, Yudah, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asher, dan Benyamin. Tetapi keluarga Yusuf melahirkan dua suku, yaitu Efraim dan Manasye (Demikianlah bani Yusuf, yakni suku Manasye dan suku Efraim, menerima milik pusaka - Yos 16:4).
Dalam Kitab Kejadian 48 diceritakan bagaimana Yakub mengangkat Efraim dan Manasye (anak Yusuf) menjadi anaknya (Maka sekarang kedua anakmu yang lahir bagimu di tanah Mesir, sebelum aku datang kepadamu ke Mesir, akulah yang empunya mereka; akulah yang akan empunya Efraim dan Manasye sama seperti Ruben dan Simeon - Kej 48:5), dan juga karena suku Efraim dan Manasye dipanggil sekaligus sebagai suku Israel.
Jadi kalau dimasukkan suku Levi, jumlahnya menjadi 13, tetapi suku terakhir ini dibentuk oleh keluarga-keluarga yang secara tradisional berkecimpung dengan kegiatan pemujaan keagamaan (Demikianlah diberikan orang Israel kota-kota tadi dengan tanah-tanah penggembalaannya kepada orang Lewi dengan undian seperti yang diperintahkan TUHAN dengan perantaraan Musa. Yos 21, 8 dst) yang tidak memiliki daerah sendiri (Maka kepada orang Lewi tidak diberikan bagiannya di negeri itu, selain dari kota-kota untuk didiami, dengan tanah penggembalaannya untuk ternak dan hewan mereka. – Yos 14:4b). Dengan cara ini suku yang ke 12 dikukuhkan ketika Yosua membagikan tanah air mereka.
Mereka membagi-bagikan tanah dengan Undian, melalui cara ini sebuah pelajaran ditanamkan, bahwa tanah terjanji merupakan suatu pemberian dari Allah.
Setiap suku mendapatkan satu bagian yang tidak mereka pilih dan yang sekarang harus mereka taklukkan agar dapat memilikinya.  Setiap kita sudah menerima bagian masing-masing dalam hidup, kita harus menerimanya sama seperti suku-suku di atas menerima “bagian dari warisannya”. Dan kita harus menerima bagian kita dengan keberanian dan rasa percaya kepada Allah seperti yang sudah dilakukan oleh suku-suku Israel
(Kitab Suci komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik)
-       Penaklukan Jericho
-       Zakheus
Read more .....

14/07/11

TRANSFIGURASI PAULUS (2)

SIKAP-SIKAP LAHIR PAULUS YANG DITRANSFIGURASIKAN DALAM KRISTUS
Sikap lahir yang pertama ialah kemampuan untuk setiap kali mulai lagi tanpa kenal lelah secara mengagumkan.
Sejak hari pertama pertobatannya, Paulus berkhotbah di Damsyik dan harus melarikan diri, ia pergi ke Yerusalem, berkhotbah lagi dan diusir, ia tinggal di Tarsus selama Penyelenggaraan Ilahi tidak memanggilnya kembali, begitu ia dipanggil kembali, ia melupakan kekecewaan masa lampau dan berangkat lagi. Dalam perjalanan perutusannya, praktis ia harus mulai lagi dari awal pada tiap tempat, ia berkhotbah di Antiokhia daerah Pisidia, diusir lalu pergi ke Ikonium, di Ikonium hidupnya terancam karena orang mencoba merajamnya, lalu ia pergi ke Listra, di Listra ia dilempari batu. Sungguh menarik kalau kita memperhatikan ketenangan Lukas dalam menuliskan adegan yang bersangkutan. “Tetapi datanglah orang-orang Yahudi dari Antiokhia dan Ikonium dan mereka membujuk orang banyak itu memihak mereka. Lalu mereka melempari Paulus dengan batu dan menyeretnya ke luar kota, karena mereka menyangka, bahwa ia telah mati. Akan tetapi ketika murid-murid itu berdiri mengelilingi dia, bangkitlah ia lalu masuk ke dalam kota. Keesokan harinya berangkatlah ia bersama-sama dengan Barnabas ke Derbe. Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu dan memperoleh banyak murid. Lalu kembalilah mereka ke Listra, Ikonium dan Antiokhia.” (Kis 14:19-21).
Begitulah ia sepanjang hidupnya, ia meninggalkan Athena dalam keadaan dihina karena diejek oleh para filsuf, meskipun begitu ia pergi ke Korintus dan mulai lagi, walaupun hatinya amat takut.
Kesanggupan untuk setiap kali mulai lagi itu bukan sifat manusiawi, seorang manusia yang mengalami kegagalan beberapa kali dalam usahanya, secara manusiawi akan kehabisan tenaga. Kita tidak memiliki sifat tak kenal lelah seperti itu. Paulus pun tidak memilikinya, itu merupakan pantulan daya yang disebutnya “kasih”, “kasih tidak berkesudahan” (1 Kor 13:8). Itu adalah kasih Allah, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:5). Cara bertindak Paulus dicurahkan dari atas dan merupakan suatu karunia, itulah yang menyebabkan kekecewaannya tidak pernah menjadi titik akhir. “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:3-5).
Sekiranya kata-kata itu diucapkan oleh orang yang baru saja bertobat dan masih berada pada tahap awal antusiasmenya, kita dapat berpikir bahwa ia berbicara tanpa adanya pengalaman. Namun itu dikatakan oleh rasul yang sudah mengalami cobaan selama dua puluh tahun, bunyinya menjadi lain dan mengajak kita untuk merenung secara mendalam. Tak ada usaha manusiawi satupun yang dapat mencapai sikap tersebut, itu adalah kasih Allah yang dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh yang dikaruniakan kepada kita.
Sekali lagi, transfigurasi yang terjadi dalam diri Paulus adalah kekuatan Kristus yang bangkit yang memasuki kelemahan Paulus dan hidup di dalam dirinya.
Sikap lahir yang kedua ialah kebebasan roh.
Ia merasa sudah mencapai  keadaan di mana ia tidak lagi bertindak karena adanya paksaan atau karena keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola lahir. Ia bertindak karena batinnya memang kaya, maka ia mengambil sikap berani yang tentu saja tidak dapat ditiru begitu saja. Kita melihat kebebasan roh itu dalam suratnya kepada jemaah di Galatia ketika ia berkata bahwa jika dilihat secara manusiawi akan lebih bijaksana menyunat Titus sesuai dengan desakan golongan Kristen Yahudi, “Tetapi sesaat pun kami tidak mau mundur dan tunduk kepada mereka, agar kebenaran Injil dapat tinggal tetap pada kamu.” (Gal 2:5). Paulus bersikap bebas terhadap setiap penilaian atau pandangan yang umum. Memang amat sulit untuk bertahan melawan arus cara berpikir yang umum dan melawan kebudayaan yang bertolak belakang, namun Paulus melakukan itu dengan kebebasan luar biasa, tanpa merasa dirinya menjadi korban, sebab kekayaan yang dialaminya dalam batinnya jauh lebih kuat dari pada pandangan orang lain. Kekuatannya itu memungkinkan dia pada suatu ketika menentang Kefas (Petrus). Itu memang merupakan puncak kebebasannya, “(di Antiohia) Dan orang-orang Yahudi yang lain pun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.” (Gal 2:13). Sikap yang oleh Paulus disebut munafik itu tentu saja bagi Barnabas merupakan keinginan untuk menjadi penengah antara kedua belah pihak. Paulus tidak menerima itu, ia menentang dan dengan itu keadaannya menjadi jelas.
Itu memang suatu kebebasan, bukannya kebebasan yang sewenang-wenang atau keberanian yang keterlaluan, melainkan kesadaran menjadi milik Kristus secara mutlak dan penuh, menjadi hamba-Nya, abdi-Nya. Paulus sendiri mengutarakan bahwa menjadi hamba Kristus itu sejajar dengan menjadi bebas terhadap semua pandangan manusiawi lainnnya.
Jika dilihat begitu, maka kebebasan menjadi suatu bentuk ketangguhan dalam pelayanan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat. Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia. Sebab oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan. Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih. Dahulu kamu berlomba dengan baik. Siapakah yang menghalang-halangi kamu, sehingga kamu tidak menuruti kebenaran lagi? Ajakan untuk tidak menurutinya lagi bukan datang dari Dia, yang memanggil kamu. Sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan. Dalam Tuhan aku yakin tentang kamu, bahwa kamu tidak mempunyai pendirian lain dari pada pendirian ini. Tetapi barangsiapa yang mengacaukan kamu, ia akan menanggung hukumannya, siapa pun juga dia. Dan lagi aku ini, saudara-saudara, jikalau aku masih memberitakan sunat, mengapakah aku masih dianiaya juga? Sebab kalau demikian, salib bukan batu sandungan lagi. Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya! Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Gal 5:1-13).
Ini salah satu kalimat dari contoh yang hanya sedikit jumlahnya, di mana menjadi hamba, dalam bahasa Yunani dipakai kata yang berarti menjadi budak, diterapkan bagi pelayanan satu kepada yang lain. Mutlaknya pengabdian kepada Kristus membuat orang begitu bebas dan merdeka, sehingga tidak takut untuk menjadikan dirinya budak bagi sesama saudaranya. Oleh sebab itu kemerdekaan tersebut merupakan sumber pelayanan yang sangat rendah hati dan akar dari sikap “dengan segala kerendahan hati” yang menjadi ciri kerasulan Paulus.
Sulit sekali untuk mengungkapkan hal-hal itu dengan kata-kata, sebab kata-kata itu akan memperkecil dan melunturkan hal yang diungkapkannya. Lebih baik kita mengambil teks-teks Paulus sendiri dan membiarkan teks-teks itu bekerja atas diri kita sebagai kata yang diilhami dengan seluruh kekuatan yang ada padanya.

TRANSFIGURASI PAULUS POLA TRANSFIGURASI GEMBALA
Marilah kita sekarang merenungkan bagaimana cara kita dapat mencapai dan mempertahankan keadaan transfigurasi itu. Paulus mulai menjadi seorang gembala yang sesuai dengan hati Kristus sesudah mengalami kelelahan dan penderitaan selama lima belas tahun. Oleh pemberian Allah Ia menjadi begitu, bukan oleh usahanya sendiri.
Cara yang pokok untuk mencapai transfigurasi ialah menyadari bahwa Allah sendirilah yang dalam belas kasih-Nya mengerjakan itu.
Cara pertama untuk memperoleh pemberian ilahi itu ialah kontemplasi akan hati Kristus tersalib. Kontemplasi itu dicurahkan oleh Roh dan dapat kita sebut kontemplasi ekaristis atau kontemplasi syukur, artinya memandang secara serius perjamuan Sabda Allah dan perjamuan Ekaristis, membiarkian diri menerima santapan Sabda Allah sebagai kekuatan yang memperjelas arti santapan yang benar-benar terjadi dan sungguh menyelamatkan, yaitu Kristus yang wafat dan bangkit. Santapan itu menjadi makanan kita dan menjalinkan kita dalam sejarah keselamatan. Kenyataan, lingkup dan arah sejarah keselamatan itu dikomunikasikan oleh Sabda Allah kepada kita. Seperti bagi Paulus, bagi kitapun kontemplasi tersebut merupakan jalan ke transfigurasi. Rasul Paulus telah menghayati doa tak kunjung putus yang terdiri dari kontemplasi akan Kristus yang wafat dan bangkit.
Anugerah hati yang ditransfigurasikan dalam sukacita, pujian, syukur, ketekunan dan kemerdekaan datang berkat pengantaraan Maria. Maria sebagai misteri Allah dalam sejarah Gereja dan sejarah keselamatan, dialah yang mempertahankan dan mengembangkan kecemerlangan iman dalam diri kita. Pengalaman Kristen yang matang mampu menjadi sadar akan peranan Maria sebagai pola dan pengantara untuk mencapai sikap rendah hati dan ketergantungan pada sabda Allah yang mentransfigurasikan kita, dengan  menjamin keterbukaan kita yang terus menerus akan kuasa Roh yang membaharu segalanya. Maria mengajak kita untuk secara otentik menghayati tingkat kontemplasi dan sikap mendengarkan yang memang merupakan tingkat yang didudukinya dalam Gereja.
Anugerah transfigurasi gembala juga datang dari sikap berbagi, yaitu dari kemampuan untuk berpegang pada bahu orang yang melihat cahaya di dalam kegelapan. Itulah kebersamaan kita sebagai anggota Gereja dan sebagai imam berpegang pada bahu orang yang telah meihat cahaya, secara timbal balik.
Di sinilah tempat peranan bimbingan rohani, wawancara pertobatan yang sangat penting karena berarti saling berpegang tangan. Itulah cara praktis bagi kita untuk membuka diri dan untuk mempertahankan dalam diri kita anugerah transfigurasi yang kita kagumi dalam diri Paulus.
Anugerah transfigurasi memerlukan sikap berjaga-jaga yang disarankan oleh Injil. “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Mat 26:41) ; “Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat!” (1 Kor 16:13). Undangan yang diulang-ulangi itu mengungkapkan dalam bentuk himbauan adanya intuisi dasar, bahwa manusia itu mahluk yang terikat oleh waktu, dapat menjadi lelah dan dari kodratnya sebenarnya tidak mampu untuk bertekun.
Setiap orang Kristen, juga setiap uskup maupun setiap imam harus yakin, bahwa tak seorangpun terjamin ketekunannya. Ada bahaya besar pada orang yang mengira sudah mencapai suatu tingkat kemantapan, sehingga tidak lagi merasa perlu untuk berjaga-jaga. Berjaga-jaga yang diajarkan oleh Perjanjian Baru mau mengatakan, bahwa sampai saat kematian kita, setan selalu berusaha merenggut sukatcita, iman dan pujian dari diri kita, kita selalu diserang pada sikap-sikap dasar itu.
Kita harus berjaga-jaga, sebab kita tahu bahwa tidak ada istirahat dalam peperangan kita. Kita dapat tiba-tiba menjadi susah, lelah, gelisah, tersinggung, atau terlantur dalam kesenangan lahir yang melemahkan iman. Paulus sering kembali lagi pada tema berjaga-jaga dan sering menekankan perlunya doa.
Marilah kita mohon dengan perantaraan Maria, supaya kita dapat berjaga-jaga bersamanya, bersama Yesus dan bersama Paulus agar terjadilah dalam diri kita transfigurasi sebagai rasul. Kalau begitu, meskipun masih ada kesulitan, penderitaan, kekecewaan, hidup kita sebagai gembala akan terjamin, karena kita berpegang erat pada Kristus dan dipegang kuat oleh tangan Allah.
(“Le Confessioni di Paulo”, karya Kardinal Mgr. Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano – Kesaksian Santo Paulus, diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata OSCO)
-       Dosa struktural
-       Yesus berubah rupa
Read more .....

TRANSFIGURASI PAULUS (1)

Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan.” (Luk 9:29).
Sungguh menarik, bahwa kata kerja yang dipakai di sini sama dengan yang dipakai Lukas ketika melukiskan cahaya yang dimasuki Paulus pada saat penampakan di Damsyik, Paulus pun menghayati pantulan Kristus yang berubah rupa.
Untuk melukiskan adegan yang sama, Injil Markus bicara tentang transformasi : “Lalu Yesus berubah rupa” (Mrk 9:2 dst). Kata kerja Yunani nya berbuyi metamorfothe”(berubah rupa). Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Kata kerja itu sama dengan yang dipakai oleh Paulus dalam surat kedua kepada jemaah di Korintus untuk melukiskan proses transformasi yang dialami olehnya, dan oleh setiap rasul dan gembala sesudah dia, sambil memantulkan kemuliaan Kristus. Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. (2 Kor 3:18).
Itu memang melukiskan hal yang sedang kita renungkan. Diliputi oleh kemuliaan Tuhan di Damsyik, Paulus mengalami perubahan. Dalam bahasa Yunani kata kerjanya dipakai dalam bentuk “waktu sekarang” untuk menunjuk pada suatu tindak perubahan yang terus-menerus, dalam kemuliaan yang semakin besar, oleh kekuatan Roh Allah. Ia berubah menurut gambaran Yesus dan menerima kecemerlangan Kristus.
Jangan lupa bahwa pesta dan peristiwa Transfigurasi sangat dimanfaatkan dalam liturgi Gereja Yunani untuk mengarahkan perhatian kepada apa yang terjadi pada orang Kristen melalui peresapan anugerah-anugerah yang diterima dalam pembaptisan dan bagi para imam dalam pentahbisan.
Dengan berbicara tentang transfigurasi Paulus, dimaksudkan bertambahnya kecemerlangan dan kejernihan yang terjadi dalam dirinya sepanjang perjalanan hidupnya sebagai gembala. Transfigurasi itu tercerminkan dalam surat-suratnya yang besar dengan cara yang tak dapat ditiru.
Dengan membaca surat-surat itu kita terpesona oleh kejelasan dan kesemarakan jiwanya. Sesudah dua ribu tahun kita merasa bahwa di belakang kata-kata yang tertulis itu hadirlah seorang pribadi hidup dan kaya yang mempesonakan dan menerangi kita.
Segi transfigurasinya menarik orang dan merupakan salah satu rahasia kegiatannya sebagai gembala. Tansfigurasi itu merupakan hasil perjalanan panjang penuh cobaan, penderitaan, doa tak kunjung putus dan kepercayaaan yang tiap kali diperbaharui.
Seperti Paulus, setiap gembala juga dipanggil untuk menjadi gemilang dan transparan melalui pengalaman, penderitaan, kelelahan dan anugerah-anugerah Allah.
Di dalam kata-kata dan tindak-tanduk setiap gembala orang harus dapat menemukan rasa damai, tenang dan percaya yang tak dapat dilukiskan tetapi dapat dilihat tanpa penalaran.
Berkat rahmat Allah, kita masing-masing pernah mendapatkan kesempatan untuk mengenal imam-imam yang sudah begitu dalam hidupnya, cara mereka berbicara dan mengungkapkan diri memancarkan hal yang dipancarkan secara melimpah oleh Paulus.
Marilah kita mencoba melukiskan hal itu secara terinci, supaya kita dapat memandangnya sebagai cermin cita-cita gembala yang menjadi teladan kita.
Kita dapat menggalinya dari tiga sikap batin khas yang dihasilkan oleh transfigurasi itu dan dari sikap lahir, bagaimana kita dapat mencapai dan mempertahankan dalam diri kita sesuatu yang mirip dengan transfigurasi itu, yang merupakan anugerah Allah bagi kita.

SIKAP-SIKAP BATIN TRANSFIGURASI
Sikap pertama yang kita temukan dalam semua suratnya, juga surat yang paling mengandung konflik, ialah suatu sukacita batin dan kedamaian yang besar, “Aku sangat berterus terang terhadap kamu; tetapi aku juga sangat memegahkan kamu. Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2 Kor 7:4). Secara jelas Paulus mengemukakan penderitaannya yang banyak bersama-sama dengan sukacitanya, bahkan sukacita yang melimpah-limpah. Hal itu tidak dipaksa-paksakan dan juga bukan cita-cita semata sebagaimana dapat kita ketahui dari surat yang sama “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (2 Kor 4:7). Paulus mengakui bahwa sukacita luar biasa itu datang dari Allah. Dari dirinya sendiri ia memang tidak mampu memperolehnya. Itu memang kekhususan transfigurasi, yaitu, bukan hasil watak baik, bukan bakat alamiah, bukan bakat manusiawi. “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (2 Kor 4:8-10). Itu bukan keadaan tenang, melainkan suatu sukacita sejati yang menyadari segala macam hal yang berat dan sulit, hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa dirinya, salah paham dan rasa tidak senang yang dialaminya dalam hidup sehari-hari. Keadaannya sama saja dengan keadaan kita. Paulus memang seorang berwatak mudah gelisah, oleh sebab itu ia mudah mengalami depresi dan kadang-kadang patah semangat. Namun sedikit demi sedikit ia mengalami dalam hidupnya bahwa pada waktu ia patah semangat, ia juga menyaksikan adanya sesuatu yang lebih kuat di dalam dirinya.
Selanjutnya adalah sukacita yang memancarkan ke sekelilingnya, bagi jemaahnya, bukan hanya bagi dirinya sendiri. Itu merupakan sukacita atas hal yang terjadi di sekitar dirinya, bagi jemaah yang dibimbingnya. “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu.” (2 Kor 1:24). Dalam suratnya kepada jemaah di Filipi ia melukiskan jemaah itu sebagai “sukacita dan mahkotaku” (Fil 4:1). Kita tidak boleh membayangkan bahwa jemaah di Filipi itu suatu jemaah ideal yang sempurna. Sebab dari suratnya kita mengetahui bahwa Paulus harus memohon dengan sangat, seakan-akan sambil berlutut, agar mereka jangan berselisih, jangan saling menyerang atau jangan terpecah-belah. “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Fil 2:3). Dengan kata lain, dalam jemaah itu ada persaingan dan usaha mencari pujian yang sia-sia. Jemaah itu bukan jemaah mudah, karena memang menimbulkan problem-problem yang merepotkan. Meskipun begitu Paulus berhasil memandangnya sebagi sukacitanya, sebab ia mendapatkan anugerah pandangan iman yang melihat lebih jauh dari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pragmatis belaka, biasa dan rutin. Itu merupakan anugerah adikodrati, kuasa Roh yang selanjutnya berada dalam dirinya dalam tingkat yang unggul.
Sikap batin yang kedua yang menyusul yang pertama ialam kemampuan bersyukur. Ia menghimbau orang-orangnya supaya bersyukur kepada Bapa dengan sukacita (dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang.- Kol 1:12). Memang ciri khas Rasul Paulus untuk menyatukan sukacita dengan ucapan syukur.
Semua suratnya dimulai dengan doa syukur, kecuali surat kepada jemaah di Galatia, karena bertujuan memberikan kecaman. Paulus memang mampu bersyukur. Kata-kata yang dipakainya bukan suatu rumus kosong melainkan mengungkapkan apa yang dirasanya. Di lain pihak, Perjanjian Baru sendiri dimulai dengan suatu doa syukur, sebab mungkin sekali tulisan paling kuno di antara tulisan-tulisan Perjanjian Baru ialah surat pertama kepada jemaah di Tesolonika, yang masih lebih dulu dari pada penyusunan definitif buku-buku injil. Kata-kata pertama Perjanjian Baru berbunyi : “Dari Paulus, Silwanus dan Timotius kepada jemaat orang-orang Tesalonika yang di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu. Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami.” (1 Tes 1:1-2).
Sebaliknya, kita tidak pernah menemukan dalam diri Paulus ratapan mandul. Memang ada kecaman, tetapi bukan rasa pahit yang beku. Dalam transfigurasinya sebagai rasul ia mendapatkan anugerah Allah yang berupa kemampuan untuk selalu melihat yang baik. Memulai setiap surat dengan ucapan syukur berarti mampu menilai semua segi positif yang ada dalam jemaah yang ia tulisi surat, juga bila kemudian ternyata ada hal-hal yang parah dan yang negatif. Pada permulaan surat pertama kepada jemaah di Korintus jemaahnya dipuji sebagai jemaah yang penuh anugerah dan penuh hikmat, lalu menyusul kecaman-kecaman. Meskipun begitu ia bukannya tidak konsekuen. Mata imannya memungkinkan dia melihat, bahwa sebutir iman yang ada pada kaum kafirnya yang bertobat itu merupakan anugerah begitu besar, sehingga ia memuji Allah tak henti-hentinya. Gembala yang matang memiliki kemampuan mengakui adanya yang baik di sekitarnya dan kemampuan mengungkapkannya secara sederhana.
Sikap yang ketiga ialah pujian. Dalam tulisan-tulisan Paulus kita dapati pujian-pujian mengagumkan yang merupakan kelanjutan tradisi berkat Yahudi. Paulus mampu meluaskannya sehingga mencakup semua segi kehidupan jemaah dalam Kristus. Misalnya, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” (Ef 1:3). Doa Paulus, sebagaimana itu kita kenal dari surat-suratnya, merupakan pujian. Memang doa itu juga menjadi doa syafaat, tetapi secara spontan yang terungkap pertama kalinya adalah pujian. Dengan demikian ia dapat menghargai saat-saat hidupnya yang paling gelap, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.” (2 Kor 1:3-4).
Kita dapat menggunakan kalimat-kalimat itu sebagai cermin untuk bertanya diri, apakah kita dapat mengucapkannya sebagai ungkapan isi hati kita sendiri yang terdalam, ataukah kita malahan merasa berat untuk mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu.
Rahmat yang perlu kita mohon pada Allah ialah supaya sikap-sikap khas gembala yang telah ditransfigurasikan oleh Kristus yang bangkit itu menjadi pengalaman kita terus menerus. Setan selalu mencobai kita supaya kita jatuh kembali dalam bentuk-bentuk hidup yang duniawi, kesedihan merupakan ciri orang yang hidupnya tanpa harapan. Kesedihan itulah yang pada dasarnya mencari pelarian, hiburan dan segalanya yang tampaknya membuat hidup senang karena tidak mau menghadapi kesedihan itu sendiri.
(“Le Confessioni di Paulo”, karya Kardinal Mgr. Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano – Kesaksian Santo Paulus, diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata OSCO)
-       Misteri Damsyik
Read more .....

12/07/11

PERMOHONAN MARIA

Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu. Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: "Mereka kehabisan anggur." (Yoh 2:1-3).
Pertama-tama ia berpaling kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur”. Maria sendiri tidak mengambil tindakan, ia hanya menjelaskan saja apa yang menjadi kesulitan pasangan baru ini. Semuanya diserahkannya kepada Yesus. Dengan cara ini Maria menegaskan, bahwa hanya Yesus sajalah yang dapat menyelamatkan dari segala kekurangan, kesulitan dan kesusahan. Maria memberikan suatu pelajaran nyata mengenai hal doa. Kata-kata Maria yang sederhana ini menjadi pola doa seorang Kristen pada segala jaman. Maria tidak berkata kepada Yesus, bagaimana diharapkan supaya Yesus berdindak, ia tidak mengemukakan rencananya sendiri yang harus dilaksanakan oleh Yesus. Maria hanya menjelaskan kekurangan dan kesulitan pasangan baru itu, lain tidak.
Di dalam Injil Yohanes masih ada seorang Maria lain, yang bersama dengan saudaranya bernama Martha, bertindak seperti Maria, ibu Yesus. Ketika Lazarus saudaranya sakit, mereka mengirim kabar kepada Yesus, “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit” (Yoh 11:3). Ia tidak berkata, bahwa Yesus harus datang menyembuhkan saudaranya. Segalanya dipercayakan kepada kuasa-Nya. Dan ternyata Yesus tidak menyembuhkan Lazarus. Ia menunggu sampai Lazarus mati, Ia mau menunjukkan, bahwa Ia tidak hanya mampu membuat mukjizat, tetapi bahwa Ia adalah kebangkitan dan kehidupan.
Kedua perikop dari Injil Yohanes ini dikutip juga oleh Santo Yohanes dari Salib. Ia mau menerangkan, bagaimana kita harus memohon bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain. Dalam penjelasannya ia menulis, bahwa seorang yang halus cintanya, tidak akan mohon apa yang kurang padanya atau apa yang diinginkannya. Ia hanya berusaha memberitahukan kepada kekasihnya apa yang menyesakkan hatinya, agar kekasihnya sendiri mengambil tindakan tepat yang berguna. Demikian yang dilakukan oleh Santa Perawan Maria, ketika ia di pesta perkawinan di Kana di daerah Galilea, tidak langsung minta anggur kepada Puteranya yang terkasih, tetapi hanya berkata kepada-Nya : ”Mereka kehabisan anggur” (Yoh 2:3). Begitu pula saudara-saudara Lazarus (Yoh 11:3).
Yohanes dari Salib mengemukakan tiga alasan, mengapa lebih baik memberitahukan saja kekurangan dan kesusahannya dari pada langsung berkata kepada Allah, apa yang harus Ia lakukan. Pertama, Tuhan lebih mengetahui apa yang baik bagi kita, kedua, Allah lebih besar belas-kasih-Nya bila Ia melihat kesesakan serta penyerahan orang yang mencintai Dia. Ketiga, lebih amanlah jiwa memberitahukan bahwa ia menderita kekurangan, dari pada memohon menurut pendapatnya apa yang kurang pada dirinya. Dalam hal ini cinta diri lebih membahayakan pada orang yang ingin memaksa Allah, dan tanpa sadar telah memupuk cinta diri itu.
Tetapi jangan juga salah mengerti, seakan-akan selalu bersalahlah orang yang memohon hal tertentu. Jangan lupa, bahwa Yohanes dari Salib menulis karangannya bagi orang yang “karena berkat karunia Allah sudah dipindahkan dari tahap permulaan masuk ke tahap cinta Ilahi yang lebih mendalam”. Ia menunjuk jalan dan memberikan arah, tetapi ada kalanya satu-satunya cara berdoa yang bagi seseorang mungkin juga perlu, ialah meminta hal tertentu, mohon ini atau itu. Kelirulah orang yang berdasarkan ajaran Santo Yohanes dari Salib mau menasehati orang yang seperti itu, agar ia jangan minta hal tertentu itu dalam doanya, sebab dengan demikian mereka mengambil dari orang itu satu-satunya kemungkinan untuk dapat berdoa pada tingkat perkembangannya.
Namun benar juga, bahwa hanya ada satu hal yang selalu dapat kita mohon, tanpa syarat atau batas, yaitu Allah sendiri. Bila ia memberikan diri-Nya, Ia memberikan segala-galanya. Bila kita memohon kepada-Nya, kita mohon segala-galanya. Bagian pertama dalam doa “Bapa Kami”, mengangkat kita ke tingkat itu, perhatian kita dipusatkan hanya pada Allah sendiri, “Dimuliakanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu.” Sesudah itu kita mohon hal-hal lain bagi diri kita sendiri, tetapi doa permohonan yang lebih konkrit itu selalu harus berakar dalam sikap menyerahkan diri seutuhnya dan dalam sikap tanpa syarat. Bila kita mendekati Allah, kita akan lebih menekankan bagian pertama dalam doa Bapa Kami. Dan kalau kita berdoa bagi diri kita sendiri atau bagi orang lain, kita akan melakukannya lebih sesuai dengan cara Maria berdoa, yaitu menunjukkan kekurangan, lalu menyerahkannya kepada Allah cara atau jalan menolong orang.
Rasa prihatin atau susah terhadap dunia belum pasti berasal dari Allah. Bila kita menjadi cemas, tegang, putus asa, muram, dsb, maka itu berarti bahwa kita belum sejalan dengan Allah, berarti kita mengandalkan kekuatan kita sendiri dalam memikul beban dunia di atas bahu kita sendiri yang lemah, dari pada menyerahkan dan menaruhnya ke dalam tangan Allah. Orang yang menaruh dunia ke dalam tangan Allah, tidak akan berhenti menangis dengan orang yang menangis atau ikut menderita, namun di tengah-tengah tangisan dan penderitaan itu ia tetap memiliki kedamaian hati. Ia menyadari, bahwa Allah mengasihi semua orang dan bahwa Ia mampu dan berkuasa untuk mengubah segala yang buruk menjadi baik. Ia menyadari, bahwa Allah melahirkan Sabda yang menentukan, dan Sabda-Nya itu adalah Sabda cinta.
(Sumber : Seri Karmelitana 10, Maria Dalam Kitab Suci dan Dalam Hidup Kita, Penerbit Dioma)

-       Maria dan Marta
-       Bunda ratu
Read more .....

08/07/11

PENGLIHATAN THERESE NEUMANN

Siapa Therese Neumann ? Therese Neumann hanyalah ibu rumah tangga, seorang awam, stigmatis, visionaris (1898 - 1962). Ia mengalami sakit fisik, matanya buta dan kakinya lumpuh bertahun- tahun, namun Tuhan menyatakan kebesaran-Nya kepada Therese Neumann.
Melaui devosinya kepada kanak-kanak Yesus, ia sembuh dari penyakit-penyakitnya. Dan lebih dari itu, santapan rohani yang diterimanya setiap hari yaitu Tubuh Kristus, memberinya kekuatan fisik, meskipun selama 35 tahun ia tidak makan dan minum. Selama itu ia hidup hanya dengan santapan rohani berupa hosti Tubuh Kristus. Maka hidupnya memberi kesaksian bahwa hosti itu sungguh Tubuh Kristus.
Tuhan ternyata memakai Therese Neumann untuk  menyatakan kebesaran-Nya melalui penderitaan-penderitaan sama seperti yang dialami Yesus sendiri berupa stigmata di kepala, tangan maupun lambung selama bertahun-tahun.
Catatan mengenai penglihatan berikut ini dikutip dari kumpulan berbagai laporan dan dokumen yang otentik, yang disusun oleh Johannes Steiner sbb :

Tuhan Yesus dibawa kepada Hanas, Ia berdiri di hadapannya. Yesus diolok-olok. Sekarang Theresia melihat-Nya berdiri di hadapan seorang yang lain, dengan jubah yang gemerlap, dengan sesuatu yang serupa tanduk-tanduk kecil di atas kepalanya dan sesuatu yang khusus di dadanya; Theresia membuat suatu pola dengan jarinya, turun dan menelusuri dadanya: yang dimaksudkannya adalah Efod imam besar, yang terbagi menjadi dua belas bagian dengan nama-nama suku Israel terukir di atasnya. Wajah Yesus ditampar.
Imam besar Kayafas mengoyakkan jubahnya sebagai tanda kutuk atas Dia. Seorang wanita tua sedang membicarakan Petrus dan sekali lagi Petrus menyangkal bahwa ia mengenal Yesus. Sekali lagi ayam jantan berkokok. Pada saat yang sama, Yesus melihat sekeliling dan memandang pada dia, yang kemudian keluar dan menangis dengan sedihnya.
Yesus digiring ke suatu terowongan yang gelap dan dingin, lorong itu begitu sempit dan rendah sehingga orang harus membungkuk agar dapat melaluinya. Penjara berupa sebuah sel sempit di mana tak lebih dari dua orang dapat berdiri di dalamnya. Yesus dikurung di sana hingga pagi.
Yesus dibawa ke hadapan Pilatus, dikirim kepada Herodes, dan kemudian digiring kembali ke Pilatus. Theresia juga melihat isteri Pilatus. Ia mengirimkan pesan kepada suaminya yang membuat suaminya itu sangat gelisah (“Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu….” Mat 27:19).
Theresia melihat dengan sangat ngeri sementara ia memalingkan mukanya dari satu sisi ke sisi lainnya. Ia melihat penderaan itu. Pakaian-Nya ditanggalkan paksa, Yesus sepenuhnya telanjang, dan Ia melihat sekeliling dengan perasaan sangat terganggu. Kedua tangan-Nya sekali lagi diikat, dan kemudian, dengan wajah-Nya menghadap pilar, Ia dikerek dengan kedua tangan-Nya terulur ke atas, mempergunakan tali kulit yang sama yang mengikat kedua tangan-Nya, hingga Ia berdiri di atas jari-jari kaki-Nya. Kemudian tiga kelompok (masing-masing kelompok terdiri dari dua orang) serdadu yang mabuk mulai mendera-Nya dengan cambuk yang berbeda-beda, sekuat-kuatnya dan dengan kesenangan yang menjijikkan. Ketika mereka melihat bagian-bagian tubuh-Nya yang terbuka telah sepenuhnya membengkak dan akan terkoyak menjadi cabikan-cabikan daging apabila mereka mendera-Nya lebih lanjut, mereka membalikkan tubuh Yesus dan mendera tubuh-Nya bagian depan dengan cara yang sama. Ketika mereka selesai dengan penderaan, tubuh Yesus begitu membengkak dan penuh luka-luka hingga hampir-hampir Ia tak dapat membungkuk untuk memungut pakaian-Nya yang tergeletak di lantai. Lalu, salah seorang dari para hamba menyepak pakaian-Nya hingga pakaian itu melayang beberapa kaki jauhnya. Sementara Theresia melihat penderaan ini, luka-luka di dada dan punggungnya memancarkan darah segar melalui baju tidurnya.
Mahkota duri bukan terbuat dari satu rangkaian ranting duri, seperti biasa digambarkan, melainkan lebih menyerupai mahkota-mahkota timur, yang tidak terbuka bagian atasnya, seperti di negara-negara Barat, melainkan tertutup dan bulat, seperti sebuah keranjang, dengan banyak onak duri yang panjang dan runcing, yang ditancapkan ke kepala Yesus, dan guna menjaga agar tangan mereka tidak terluka, para serdadu memukul-mukulkannya ke atas kepala Yesus menggunakan sebatang tongkat. Sekarang, luka-luka Theresia akibat mahkota duri ini mulai mengalir memancarkan darah melalui kerudungnya, di mana teristimewa sembilan genangan besar darah yang mengering muncul sesudah setiap sengsara hari Jumat.
Salib yang dilihat Theresia tidak tampak seperti salib yang biasa kita bayangkan, melainkan terdiri dari tiga palang kayu yang dikerjakan secara kasar, diikat menjadi satu dengan tali, satu balok kayu panjang dan dua balok kayu yang lebih pendek, yang ditebang kasar. Bahu-Nya yang telah penuh luka-luka dan membengkak mulai mengalirkan darah segar karena beratnya beban. Suatu aliran darah yang deras mengalir dari bahu kanan Theresia dan membasahi baju tidurnya.
Dalam jalan salib, Yesus berjumpa dengan Bunda-Nya yang ditemani oleh Yohanes dan beberapa wanita. Theresia mendengar-Nya memanggil “Immi” (Bunda-Ku). Salah seorang dari hamba “yang tak berguna”, yang membawa peralatan eksekusi yang diperlukan, melihat bahwa itulah ibunda Yesus yang berdiri di sana dan ia mengeluarkan dua paku dari dalam kotaknya, lalu memamerkannya kepada Bunda Maria.
Seseorang (Simon dari Kirene) diperintahkan untuk membantu memanggul salib. Ia bersiteguh dalam penolakannya. Salah seorang sipir penjara memaksanya. Ia sungguh amat marah diperlakukan dan diperintah demikian, dan ia terus-menerus mengeluh dengan keras dan sikapnya yang tak dapat bekerjasama itu menyebabkan Yesus jatuh yang kedua kalinya. Kemudian Yesus berpaling kepadanya sementara Ia bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan suatu “tatapan ilahi”. Ketika ia melihat tatapan mata Yesus, Simon bukan hanya tak lagi menolak, tetapi ia mengangkat salib begitu kuat di bagian tengah sehingga Yesus hampir-hampir tak memikul beban sama sekali.
Seorang wanita muncul dengan seorang gadis kecil yang membawa sebuah tempayan air. Ia adalah wanita yang dulu secara diam-diam mendekati Yesus di antara khalayak ramai dan menyentuh ujung jubah-Nya, dan Ia menyembuhkannya dari sakit pendarahan. Sekarang wanita itu amat berduka sementara ia menatap wajah Yesus yang sudah tidak serupa manusia lagi, seluruhnya penuh berlumuran darah; ia melepaskan kerudungnya, dan menyerahkannya kepada-Nya. Yesus mengusap wajah-Nya dengan kain itu, lalu mengembalikan kepadanya: lukisan wajah-Nya tergambar jelas di sana.
Kaki Yesus terjerat oleh tali-temali yang dipakai oleh mereka untuk menggiring-Nya dan Ia jatuh terjerembab ke tanah. Para serdadu berteriak “Kum”, dan mencengkeram Yesus di pundaknya guna membuat-Nya bangkit berdiri. Mereka khawatir kalau-kalau Ia mati sebelum mereka menyalibkan-Nya.
Yesus digiring naik dan mereka menanggalkan jubah dari tubuh-Nya, meskipun jubah itu telah melekat pada daging-Nya karena darah yang mengering. Semua luka-lukanya terkoyak lagi dan mengalirkan darah. Yesus berdiri di sana sepenuhnya telanjang, Ia merasa amat gusar dengan perlakuan yang memalukan ini, dan Ia memandang berkeliling untuk mencari simpati. Seorang wanita pemberani melepaskan kerudungnya dan menyerahkannya kepada-Nya. Dengan pandangan penuh terima kasih, Yesus menerimanya, lalu membalutkannya sekeliling tubuh-Nya. Para serdadu itu kemudian merobohkan-Nya ke atas salib dan mengikat-Nya kuat-kuat di pinggul-Nya.
Sesudah itu, mereka mengikatkan tangan kanan-Nya ke palang salib di sekitar pergelangan tangan dan memakukan paku menembusi tangan kanannya ke dalam lubang yang telah dibuat sebelumnya di palang kayu. Ketika tiba giliran tangan kiri, mereka mendapati bahwa lubang di palang kayu telah dibuat terlalu jauh keluar. Mereka mengikatkan tali ke pergelangan tangan-Nya dan menarik tangan-Nya kuat-kuat begitu rupa sehingga posisinya pas dengan lubang. Dengan berbuat demikian, mereka mencopot lengan-Nya keluar dari sendi bahu. Kemudian lengan ini juga diikatkan kuat-kuat pada palang dan paku dipakukan menembusi tangan-Nya. Theresia mendengar setiap hantaman palu. Lutut Theresia tersentak kuat di bawah selimutnya sementara setiap tangan dipakukan di kayu salib. Dari luka-luka dan stigma, darah segar mulai mengucur deras. Jari-jari tangan Theresia tertekuk ke dalam dan ia terus menggeliat-geliat dalam kesakitan. 
Mereka memakukan kaki-Nya dengan cara sebagai berikut: pertama-tama kedua lutut diikat menjadi satu. Lalu, para sipir penjara menekankan kaki kanan Yesus kuat-kuat ke tumpuan kaki dan menembusinya dengan paku yang sama ukurannya seperti paku-paku di tangan. Paku ini kemudian dicabut dan dibuang. Hal ini dimaksudkan hanya sebagai penahan sementara, guna mencegah agar kaki tidak tersentak bebas ketika kaki yang satunya dipakukan di tempatnya. Kemudian kaki kanan diangkat dan ditumpangkan di atas kaki kiri, dan suatu paku yang lebih panjang dimasukkan melalui kaki kanan yang telah berlubang dan dengan satu hantaman yang dahsyat, diikuti beberapa hantaman lainnya, paku juga ditembuskan melalui kaki kiri ke suatu lubang yang telah dibuat di kayu salib.
Para serdadu menempatkan papan gelar-Nya di tempatnya, mengangkat salib dengan bantuan beberapa balok kayu, dan membiarkannya jatuh ke dalam lubang yang telah dibuat di atas batu. Tubuh Theresia Neumann yang gemetar hebat dan ekspresi ngeri di wajahnya dengan jelas menggambarkan kesakitan luar biasa yang diderita tubuh Juruselamat kita akibat hentakan dahsyat ini. Theresia melihat Yesus tak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya; kepala-Nya terkulai ke depan. Salib tidak menancap cukup dalam ke tanah; tak mampu menahan bebannya dengan baik. Para serdadu mengangkatnya lagi, sedikit memperdalam lubang dan menyusun batu-batu di sekelilingnya. Kemudian mereka memancangkan salib kembali ke tempatnya, sedikit lebih hati-hati dari yang pertama. Salib tidak mau berdiri tegak, melainkan sedikit condong ke depan, akibat menahan beban tubuh Yesus. Tampaknya, mereka telah memperhitungkan hal ini, atau mereka telah berpengalaman dengan penyaliban-penyaliban sebelumnya: di kedua sisi salib, dekat permukaan balok utama yang diratakan, telah dipasang dua cincin, sedikit agak ke belakang dan agak di bagian atas balok kayu, dengan tali-tali tergantung pada kedua cincin. Dengan tali-tali ini, salib ditarik ke belakang dan kemudian ditahan oleh dua pasak yang dipancangkan di sampingnya, Lalu, lebih banyak lagi batu ditumpuk di bawah kaki salib dan potongan-potongan kayu disumpalkan ke dalamnya.  Saat ditanya ke arah manakah Yesus memandang, Theresia mengatakan bahwa ia sendiri menghadap Bait Suci sementara ia berdiri tepat di hadapan Juruselamat kita; dengan demikian Yesus disalibkan dengan punggung-Nya membelakangi Kota Suci. Salib kedua penyamun agak sedikit lebih di depan dan agak turun di sisi bukit, sehingga Yesus “dapat melihat keduanya.”
Sumber : “Thoughts about Our Savior from Therese Neumann”,  diterjemahkan oleh www.yesaya.indocell.net
Read more .....