Mengapa orang kaya tersebut disebut
bodoh?
Seorang dari orang banyak itu berkata
kepada Yesus: "Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan
dengan aku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Saudara, siapakah yang
telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?" (Luk
12:13-14).
Siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atas kamu ? Yesus tidak
memecahkan persoalan hukum seperti yang dilakukan guru-guru hukum, karena
Hukumlah yang menentukan soal-soal sipil dan agama. Yesus menggunakan kuasa-Nya
hanya untuk menekan ketamakan manusia dari pada melihat hak atas materi setiap
orang.
Seseorang meminta Yesus rnenjadi hakim di dalarn urusan warisan keluarga
mereka. Tetapi Yesus menolak terlibat dalam pertengkaran itu dan menolak
rnenjadi hakim dan pengantara. Yesus menolak ikut campur urusan seseorang yang
bertindak berdasarkan motif yang hanya untuk mementingkan diri sendiri.
Orang yang meminta Yesus untuk ikut campur tangan kelihatannya datang
sendiri, dia ingin Yesus sebagai penengah. Orang itu gagal melihat Yesus
sebagai seorang Guru. Seorang rabi dididik dalam Hukum Taurat untuk melayani
baik sebagai guru maupun sebagai hakim, sedangkan orang ini tidak melihat
adanya perbedaan itu dalam diri Yesus dibandingkan dengan para rabi.
Yesus menegur orang itu, bahkan mengajar kepada orang banyak, "Berjaga-jagalah dan waspadalah
terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya,
hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Luk 12:15).
Sebagai Guru, Yesus memperingatkan orang banyak untuk melawan bahaya rohani
dari ketamakan. Ketamakan merupakan penyembahan terhadap ciptaan, bukan kepada
Pencipta. Yesus membongkar sumber kesalahan yang menyebabkan orang itu meminta
Yesus menjadi pengantaranya. Yesus memperingatkan bahwa orang yang tamak tidak
mewarisi Kerajaan Allah. Yesus tidak mengatakan bahwa hidup kita harus serba
pas-pasan atau bahkan melarat. Kita tahu bahwa semuanya ini merintangi
peningkatan kesadaran umat akan martabat dan panggilan ilahi mereka. Kekayaan
tidak membawa kebahagiaan, tetapi kekayaan sering kali menjadi penyebab dari
keruntuhan dan kehancuran (Karena akar
segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang
telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka – 1
Tim 6:10). Ketamakan tidak akan membuat orang tenang, dan akan membuat
orang menjadi “terikat” dengan kekayaannya
dan akan menutup pintu Kerajaan Allah (Lalu
Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka:
"Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah."
- Mrk 10:23).
Orang kaya dalam perumpamaan ini merencanakan lumbung yang lebih besar
demi keuntungannya sendiri. Orang ini berbicara kepada dirinya sendiri, merencanakan
apa yang akan dilakukan dengan panennya dan di mana menyimpannya. Dengan
berkata kepada dirinya sendiri, dan dengan menggunakan kata “aku” dan “milikku” berulang-ulang, dengan jelas dia menyatakan ke-egoisan-nya. (Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku
tidak mempunyai tempat di mana aku
dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu
katanya: Inilah yang akan aku
perbuat; aku akan merombak
lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar
dan aku akan menyimpan di dalamnya
segala gandum dan barang-barangku.
Sesudah itu aku akan berkata kepada
jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun
lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! – Luk
12:17-19). Kata "aku” dan
“ku” muncul dari ayat 17 sampai 19.
Orang kaya ini perhatiannya hanya terpusat pada dirinya sendiri.
Kita tidak dapat menuduh orang itu, bahwa orang itu adalah orang yang berdosa,
bahwa ia sudah melakukan perbuatan jahat sebagaimana seorang perampok ataupun
penipu. Seringkali orang yang bekerja keras adalah orang-orang yang baik secara
moral. Orang malaslah yang biasanya yang menimbulkan banyak masalah. Jadi apa
masalahnya di sini ? Dia merombak lumbungnya menjadi lebih besar, baginya tidak
perlu bergantung kepada Allah, dia hanya memikirkan ketenangan, kesenangan, dan
keamanan untuk dirinya sendiri. Kehidupannya tidak kelihatan adanya dosa karena
perbuatannya, tetapi justru tindakannya yang egois maka timbul dosa pengabaian atau dosa kelalaian, sama seperti dalam kisah
orang kaya dan Lazarus dalam Injil Lukas
16:20-31, di mana orang kaya tersebut tidak peduli dengan Lazarus yang
miskin yang ada di depan pintu rumahnya. Demikian juga orang kaya dalam
perumpamaan di sini, dia lupa mengucap syukur kepada Allah untuk kekayaan yang
dia terima, dia lalai untuk memperhatikan sesamanya yang membutuhkan, dia tidak
membagikan miliknya dengan sesamanya
Allah campur tangan dengan menyebut dia itu orang yang bodoh, dan
memberitahu dia bahwa hidupnya akan berakhir malam itu juga. (Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau
orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang
telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? – Luk 12:20). Dia yang
memberikan kekayaan itu dan Dia juga yang mengambilnya pada waktu yang sudah
ditentukan-Nya. Orang kaya tersebut dikutuk sebagai orang yang bodoh, karena bila
manusia hidup hanya untuk dirinya sendiri, maka secara rohani dia telah mati. "sedang kamu tidak tahu apa yang akan
terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar
saja kelihatan lalu lenyap" (Yakobus 4:13, 14).
Jadi, mengapa orang kaya tersebut disebut bodoh? Tuhan tidak mengatakan bahwa orang itu adalah
orang yang jahat. Kata “bodoh” di
dalam Alkitab perlu dipahami secara rohani, bukannya secara intelektual, karena
ini adalah kebodohan rohani. Apa itu
kebodohan rohani?
Kata “bodoh” juga dipakai di
dalam 2 Korintus 12:6a (Sebab sekiranya
aku hendak bermegah juga, aku bukan orang bodoh lagi, karena aku mengatakan
kebenaran). Paulus mau mengatakan, bahwa dia tidak akan bermegah, namun
jika dia akan bermegah, dia tidak mau memegahkan hal yang bodoh.
Paulus juga memakai kata ini di dalam Efesus
5:17 (Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti
kehendak Tuhan). Maksudnya, menjadi bodoh karena gagal memahami “kehendak Allah”, bahwa kebodohan berarti
kurangnya kepedulian atas kehidupan rohani.
Yesus mendorong manusia untuk menyimpan harta surgawi dan menjadi kaya di
hadapan Allah, seperti yang Yesus ajarkan dalam Khotbah di Bukit: "Karena di mana hartamu berada, di situ
juga hatimu berada." (Matius 6:21).
Allah telah berjanji untuk mengisi lumbung-lumbung seseorang dengan
berkelimpahan jikalau orang tersebut memuliakan Tuhan dengan hasil pertama dari
semua penghasilannya (Muliakanlah TUHAN
dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu, maka
lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana
pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya. - Amsal 3:9-10).
Surat Paulus yang pertama kepada Timotius : "Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun
tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian,
cukuplah" (1 Tim 6:7-8). Makanan, pakaian, dan tempat tinggal merupakan
kebutuhan hidup, selebihnya dari hal-hal tersebut, maka itu berarti ada kelimpahan
dan harus dibagikan kepada sesama, terutama kepada orang miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar