Sejak hari pertama pertobatannya, Paulus berkhotbah di Damsyik dan harus melarikan diri, ia pergi ke Yerusalem, berkhotbah lagi dan diusir, ia tinggal di Tarsus selama Penyelenggaraan Ilahi tidak memanggilnya kembali, begitu ia dipanggil kembali, ia melupakan kekecewaan masa lampau dan berangkat lagi. Dalam perjalanan perutusannya, praktis ia harus mulai lagi dari awal pada tiap tempat, ia berkhotbah di Antiokhia daerah Pisidia, diusir lalu pergi ke Ikonium, di Ikonium hidupnya terancam karena orang mencoba merajamnya, lalu ia pergi ke Listra, di Listra ia dilempari batu. Sungguh menarik kalau kita memperhatikan ketenangan Lukas dalam menuliskan adegan yang bersangkutan. “Tetapi datanglah orang-orang Yahudi dari Antiokhia dan Ikonium dan mereka membujuk orang banyak itu memihak mereka. Lalu mereka melempari Paulus dengan batu dan menyeretnya ke luar kota, karena mereka menyangka, bahwa ia telah mati. Akan tetapi ketika murid-murid itu berdiri mengelilingi dia, bangkitlah ia lalu masuk ke dalam kota. Keesokan harinya berangkatlah ia bersama-sama dengan Barnabas ke Derbe. Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu dan memperoleh banyak murid. Lalu kembalilah mereka ke Listra, Ikonium dan Antiokhia.” (Kis 14:19-21).
Begitulah ia sepanjang hidupnya, ia meninggalkan Athena dalam keadaan dihina karena diejek oleh para filsuf, meskipun begitu ia pergi ke Korintus dan mulai lagi, walaupun hatinya amat takut.
Kesanggupan untuk setiap kali mulai lagi itu bukan sifat manusiawi, seorang manusia yang mengalami kegagalan beberapa kali dalam usahanya, secara manusiawi akan kehabisan tenaga. Kita tidak memiliki sifat tak kenal lelah seperti itu. Paulus pun tidak memilikinya, itu merupakan pantulan daya yang disebutnya “kasih”, “kasih tidak berkesudahan” (1 Kor 13:8). Itu adalah kasih Allah, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:5). Cara bertindak Paulus dicurahkan dari atas dan merupakan suatu karunia, itulah yang menyebabkan kekecewaannya tidak pernah menjadi titik akhir. “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:3-5).
Sekiranya kata-kata itu diucapkan oleh orang yang baru saja bertobat dan masih berada pada tahap awal antusiasmenya, kita dapat berpikir bahwa ia berbicara tanpa adanya pengalaman. Namun itu dikatakan oleh rasul yang sudah mengalami cobaan selama dua puluh tahun, bunyinya menjadi lain dan mengajak kita untuk merenung secara mendalam. Tak ada usaha manusiawi satupun yang dapat mencapai sikap tersebut, itu adalah kasih Allah yang dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh yang dikaruniakan kepada kita.
Sekali lagi, transfigurasi yang terjadi dalam diri Paulus adalah kekuatan Kristus yang bangkit yang memasuki kelemahan Paulus dan hidup di dalam dirinya.
Sikap lahir yang kedua ialah kebebasan roh.
Ia merasa sudah mencapai keadaan di mana ia tidak lagi bertindak karena adanya paksaan atau karena keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola lahir. Ia bertindak karena batinnya memang kaya, maka ia mengambil sikap berani yang tentu saja tidak dapat ditiru begitu saja. Kita melihat kebebasan roh itu dalam suratnya kepada jemaah di Galatia ketika ia berkata bahwa jika dilihat secara manusiawi akan lebih bijaksana menyunat Titus sesuai dengan desakan golongan Kristen Yahudi, “Tetapi sesaat pun kami tidak mau mundur dan tunduk kepada mereka, agar kebenaran Injil dapat tinggal tetap pada kamu.” (Gal 2:5). Paulus bersikap bebas terhadap setiap penilaian atau pandangan yang umum. Memang amat sulit untuk bertahan melawan arus cara berpikir yang umum dan melawan kebudayaan yang bertolak belakang, namun Paulus melakukan itu dengan kebebasan luar biasa, tanpa merasa dirinya menjadi korban, sebab kekayaan yang dialaminya dalam batinnya jauh lebih kuat dari pada pandangan orang lain. Kekuatannya itu memungkinkan dia pada suatu ketika menentang Kefas (Petrus). Itu memang merupakan puncak kebebasannya, “(di Antiohia) Dan orang-orang Yahudi yang lain pun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.” (Gal 2:13). Sikap yang oleh Paulus disebut munafik itu tentu saja bagi Barnabas merupakan keinginan untuk menjadi penengah antara kedua belah pihak. Paulus tidak menerima itu, ia menentang dan dengan itu keadaannya menjadi jelas.
Itu memang suatu kebebasan, bukannya kebebasan yang sewenang-wenang atau keberanian yang keterlaluan, melainkan kesadaran menjadi milik Kristus secara mutlak dan penuh, menjadi hamba-Nya, abdi-Nya. Paulus sendiri mengutarakan bahwa menjadi hamba Kristus itu sejajar dengan menjadi bebas terhadap semua pandangan manusiawi lainnnya.
Jika dilihat begitu, maka kebebasan menjadi suatu bentuk ketangguhan dalam pelayanan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat. Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia. Sebab oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan. Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih. Dahulu kamu berlomba dengan baik. Siapakah yang menghalang-halangi kamu, sehingga kamu tidak menuruti kebenaran lagi? Ajakan untuk tidak menurutinya lagi bukan datang dari Dia, yang memanggil kamu. Sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan. Dalam Tuhan aku yakin tentang kamu, bahwa kamu tidak mempunyai pendirian lain dari pada pendirian ini. Tetapi barangsiapa yang mengacaukan kamu, ia akan menanggung hukumannya, siapa pun juga dia. Dan lagi aku ini, saudara-saudara, jikalau aku masih memberitakan sunat, mengapakah aku masih dianiaya juga? Sebab kalau demikian, salib bukan batu sandungan lagi. Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya! Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Gal 5:1-13).
Ini salah satu kalimat dari contoh yang hanya sedikit jumlahnya, di mana menjadi hamba, dalam bahasa Yunani dipakai kata yang berarti menjadi budak, diterapkan bagi pelayanan satu kepada yang lain. Mutlaknya pengabdian kepada Kristus membuat orang begitu bebas dan merdeka, sehingga tidak takut untuk menjadikan dirinya budak bagi sesama saudaranya. Oleh sebab itu kemerdekaan tersebut merupakan sumber pelayanan yang sangat rendah hati dan akar dari sikap “dengan segala kerendahan hati” yang menjadi ciri kerasulan Paulus.
Sulit sekali untuk mengungkapkan hal-hal itu dengan kata-kata, sebab kata-kata itu akan memperkecil dan melunturkan hal yang diungkapkannya. Lebih baik kita mengambil teks-teks Paulus sendiri dan membiarkan teks-teks itu bekerja atas diri kita sebagai kata yang diilhami dengan seluruh kekuatan yang ada padanya.
TRANSFIGURASI PAULUS POLA TRANSFIGURASI GEMBALA
Marilah kita sekarang merenungkan bagaimana cara kita dapat mencapai dan mempertahankan keadaan transfigurasi itu. Paulus mulai menjadi seorang gembala yang sesuai dengan hati Kristus sesudah mengalami kelelahan dan penderitaan selama lima belas tahun. Oleh pemberian Allah Ia menjadi begitu, bukan oleh usahanya sendiri.
Cara yang pokok untuk mencapai transfigurasi ialah menyadari bahwa Allah sendirilah yang dalam belas kasih-Nya mengerjakan itu.
Cara pertama untuk memperoleh pemberian ilahi itu ialah kontemplasi akan hati Kristus tersalib. Kontemplasi itu dicurahkan oleh Roh dan dapat kita sebut kontemplasi ekaristis atau kontemplasi syukur, artinya memandang secara serius perjamuan Sabda Allah dan perjamuan Ekaristis, membiarkian diri menerima santapan Sabda Allah sebagai kekuatan yang memperjelas arti santapan yang benar-benar terjadi dan sungguh menyelamatkan, yaitu Kristus yang wafat dan bangkit. Santapan itu menjadi makanan kita dan menjalinkan kita dalam sejarah keselamatan. Kenyataan, lingkup dan arah sejarah keselamatan itu dikomunikasikan oleh Sabda Allah kepada kita. Seperti bagi Paulus, bagi kitapun kontemplasi tersebut merupakan jalan ke transfigurasi. Rasul Paulus telah menghayati doa tak kunjung putus yang terdiri dari kontemplasi akan Kristus yang wafat dan bangkit.
Anugerah hati yang ditransfigurasikan dalam sukacita, pujian, syukur, ketekunan dan kemerdekaan datang berkat pengantaraan Maria. Maria sebagai misteri Allah dalam sejarah Gereja dan sejarah keselamatan, dialah yang mempertahankan dan mengembangkan kecemerlangan iman dalam diri kita. Pengalaman Kristen yang matang mampu menjadi sadar akan peranan Maria sebagai pola dan pengantara untuk mencapai sikap rendah hati dan ketergantungan pada sabda Allah yang mentransfigurasikan kita, dengan menjamin keterbukaan kita yang terus menerus akan kuasa Roh yang membaharu segalanya. Maria mengajak kita untuk secara otentik menghayati tingkat kontemplasi dan sikap mendengarkan yang memang merupakan tingkat yang didudukinya dalam Gereja.
Anugerah transfigurasi gembala juga datang dari sikap berbagi, yaitu dari kemampuan untuk berpegang pada bahu orang yang melihat cahaya di dalam kegelapan. Itulah kebersamaan kita sebagai anggota Gereja dan sebagai imam berpegang pada bahu orang yang telah meihat cahaya, secara timbal balik.
Di sinilah tempat peranan bimbingan rohani, wawancara pertobatan yang sangat penting karena berarti saling berpegang tangan. Itulah cara praktis bagi kita untuk membuka diri dan untuk mempertahankan dalam diri kita anugerah transfigurasi yang kita kagumi dalam diri Paulus.
Anugerah transfigurasi memerlukan sikap berjaga-jaga yang disarankan oleh Injil. “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Mat 26:41) ; “Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki! Dan tetap kuat!” (1 Kor 16:13). Undangan yang diulang-ulangi itu mengungkapkan dalam bentuk himbauan adanya intuisi dasar, bahwa manusia itu mahluk yang terikat oleh waktu, dapat menjadi lelah dan dari kodratnya sebenarnya tidak mampu untuk bertekun.
Setiap orang Kristen, juga setiap uskup maupun setiap imam harus yakin, bahwa tak seorangpun terjamin ketekunannya. Ada bahaya besar pada orang yang mengira sudah mencapai suatu tingkat kemantapan, sehingga tidak lagi merasa perlu untuk berjaga-jaga. Berjaga-jaga yang diajarkan oleh Perjanjian Baru mau mengatakan, bahwa sampai saat kematian kita, setan selalu berusaha merenggut sukatcita, iman dan pujian dari diri kita, kita selalu diserang pada sikap-sikap dasar itu.
Kita harus berjaga-jaga, sebab kita tahu bahwa tidak ada istirahat dalam peperangan kita. Kita dapat tiba-tiba menjadi susah, lelah, gelisah, tersinggung, atau terlantur dalam kesenangan lahir yang melemahkan iman. Paulus sering kembali lagi pada tema berjaga-jaga dan sering menekankan perlunya doa.
Marilah kita mohon dengan perantaraan Maria, supaya kita dapat berjaga-jaga bersamanya, bersama Yesus dan bersama Paulus agar terjadilah dalam diri kita transfigurasi sebagai rasul. Kalau begitu, meskipun masih ada kesulitan, penderitaan, kekecewaan, hidup kita sebagai gembala akan terjamin, karena kita berpegang erat pada Kristus dan dipegang kuat oleh tangan Allah.
(“Le Confessioni di Paulo”, karya Kardinal Mgr. Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano – Kesaksian Santo Paulus, diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata OSCO)