14/07/11

TRANSFIGURASI PAULUS (1)

Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan.” (Luk 9:29).
Sungguh menarik, bahwa kata kerja yang dipakai di sini sama dengan yang dipakai Lukas ketika melukiskan cahaya yang dimasuki Paulus pada saat penampakan di Damsyik, Paulus pun menghayati pantulan Kristus yang berubah rupa.
Untuk melukiskan adegan yang sama, Injil Markus bicara tentang transformasi : “Lalu Yesus berubah rupa” (Mrk 9:2 dst). Kata kerja Yunani nya berbuyi metamorfothe”(berubah rupa). Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Kata kerja itu sama dengan yang dipakai oleh Paulus dalam surat kedua kepada jemaah di Korintus untuk melukiskan proses transformasi yang dialami olehnya, dan oleh setiap rasul dan gembala sesudah dia, sambil memantulkan kemuliaan Kristus. Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. (2 Kor 3:18).
Itu memang melukiskan hal yang sedang kita renungkan. Diliputi oleh kemuliaan Tuhan di Damsyik, Paulus mengalami perubahan. Dalam bahasa Yunani kata kerjanya dipakai dalam bentuk “waktu sekarang” untuk menunjuk pada suatu tindak perubahan yang terus-menerus, dalam kemuliaan yang semakin besar, oleh kekuatan Roh Allah. Ia berubah menurut gambaran Yesus dan menerima kecemerlangan Kristus.
Jangan lupa bahwa pesta dan peristiwa Transfigurasi sangat dimanfaatkan dalam liturgi Gereja Yunani untuk mengarahkan perhatian kepada apa yang terjadi pada orang Kristen melalui peresapan anugerah-anugerah yang diterima dalam pembaptisan dan bagi para imam dalam pentahbisan.
Dengan berbicara tentang transfigurasi Paulus, dimaksudkan bertambahnya kecemerlangan dan kejernihan yang terjadi dalam dirinya sepanjang perjalanan hidupnya sebagai gembala. Transfigurasi itu tercerminkan dalam surat-suratnya yang besar dengan cara yang tak dapat ditiru.
Dengan membaca surat-surat itu kita terpesona oleh kejelasan dan kesemarakan jiwanya. Sesudah dua ribu tahun kita merasa bahwa di belakang kata-kata yang tertulis itu hadirlah seorang pribadi hidup dan kaya yang mempesonakan dan menerangi kita.
Segi transfigurasinya menarik orang dan merupakan salah satu rahasia kegiatannya sebagai gembala. Tansfigurasi itu merupakan hasil perjalanan panjang penuh cobaan, penderitaan, doa tak kunjung putus dan kepercayaaan yang tiap kali diperbaharui.
Seperti Paulus, setiap gembala juga dipanggil untuk menjadi gemilang dan transparan melalui pengalaman, penderitaan, kelelahan dan anugerah-anugerah Allah.
Di dalam kata-kata dan tindak-tanduk setiap gembala orang harus dapat menemukan rasa damai, tenang dan percaya yang tak dapat dilukiskan tetapi dapat dilihat tanpa penalaran.
Berkat rahmat Allah, kita masing-masing pernah mendapatkan kesempatan untuk mengenal imam-imam yang sudah begitu dalam hidupnya, cara mereka berbicara dan mengungkapkan diri memancarkan hal yang dipancarkan secara melimpah oleh Paulus.
Marilah kita mencoba melukiskan hal itu secara terinci, supaya kita dapat memandangnya sebagai cermin cita-cita gembala yang menjadi teladan kita.
Kita dapat menggalinya dari tiga sikap batin khas yang dihasilkan oleh transfigurasi itu dan dari sikap lahir, bagaimana kita dapat mencapai dan mempertahankan dalam diri kita sesuatu yang mirip dengan transfigurasi itu, yang merupakan anugerah Allah bagi kita.

SIKAP-SIKAP BATIN TRANSFIGURASI
Sikap pertama yang kita temukan dalam semua suratnya, juga surat yang paling mengandung konflik, ialah suatu sukacita batin dan kedamaian yang besar, “Aku sangat berterus terang terhadap kamu; tetapi aku juga sangat memegahkan kamu. Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2 Kor 7:4). Secara jelas Paulus mengemukakan penderitaannya yang banyak bersama-sama dengan sukacitanya, bahkan sukacita yang melimpah-limpah. Hal itu tidak dipaksa-paksakan dan juga bukan cita-cita semata sebagaimana dapat kita ketahui dari surat yang sama “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (2 Kor 4:7). Paulus mengakui bahwa sukacita luar biasa itu datang dari Allah. Dari dirinya sendiri ia memang tidak mampu memperolehnya. Itu memang kekhususan transfigurasi, yaitu, bukan hasil watak baik, bukan bakat alamiah, bukan bakat manusiawi. “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (2 Kor 4:8-10). Itu bukan keadaan tenang, melainkan suatu sukacita sejati yang menyadari segala macam hal yang berat dan sulit, hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa dirinya, salah paham dan rasa tidak senang yang dialaminya dalam hidup sehari-hari. Keadaannya sama saja dengan keadaan kita. Paulus memang seorang berwatak mudah gelisah, oleh sebab itu ia mudah mengalami depresi dan kadang-kadang patah semangat. Namun sedikit demi sedikit ia mengalami dalam hidupnya bahwa pada waktu ia patah semangat, ia juga menyaksikan adanya sesuatu yang lebih kuat di dalam dirinya.
Selanjutnya adalah sukacita yang memancarkan ke sekelilingnya, bagi jemaahnya, bukan hanya bagi dirinya sendiri. Itu merupakan sukacita atas hal yang terjadi di sekitar dirinya, bagi jemaah yang dibimbingnya. “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai, karena kamu berdiri teguh dalam imanmu. Sebaliknya, kami mau turut bekerja untuk sukacitamu.” (2 Kor 1:24). Dalam suratnya kepada jemaah di Filipi ia melukiskan jemaah itu sebagai “sukacita dan mahkotaku” (Fil 4:1). Kita tidak boleh membayangkan bahwa jemaah di Filipi itu suatu jemaah ideal yang sempurna. Sebab dari suratnya kita mengetahui bahwa Paulus harus memohon dengan sangat, seakan-akan sambil berlutut, agar mereka jangan berselisih, jangan saling menyerang atau jangan terpecah-belah. “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Fil 2:3). Dengan kata lain, dalam jemaah itu ada persaingan dan usaha mencari pujian yang sia-sia. Jemaah itu bukan jemaah mudah, karena memang menimbulkan problem-problem yang merepotkan. Meskipun begitu Paulus berhasil memandangnya sebagi sukacitanya, sebab ia mendapatkan anugerah pandangan iman yang melihat lebih jauh dari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pragmatis belaka, biasa dan rutin. Itu merupakan anugerah adikodrati, kuasa Roh yang selanjutnya berada dalam dirinya dalam tingkat yang unggul.
Sikap batin yang kedua yang menyusul yang pertama ialam kemampuan bersyukur. Ia menghimbau orang-orangnya supaya bersyukur kepada Bapa dengan sukacita (dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang.- Kol 1:12). Memang ciri khas Rasul Paulus untuk menyatukan sukacita dengan ucapan syukur.
Semua suratnya dimulai dengan doa syukur, kecuali surat kepada jemaah di Galatia, karena bertujuan memberikan kecaman. Paulus memang mampu bersyukur. Kata-kata yang dipakainya bukan suatu rumus kosong melainkan mengungkapkan apa yang dirasanya. Di lain pihak, Perjanjian Baru sendiri dimulai dengan suatu doa syukur, sebab mungkin sekali tulisan paling kuno di antara tulisan-tulisan Perjanjian Baru ialah surat pertama kepada jemaah di Tesolonika, yang masih lebih dulu dari pada penyusunan definitif buku-buku injil. Kata-kata pertama Perjanjian Baru berbunyi : “Dari Paulus, Silwanus dan Timotius kepada jemaat orang-orang Tesalonika yang di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu. Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami.” (1 Tes 1:1-2).
Sebaliknya, kita tidak pernah menemukan dalam diri Paulus ratapan mandul. Memang ada kecaman, tetapi bukan rasa pahit yang beku. Dalam transfigurasinya sebagai rasul ia mendapatkan anugerah Allah yang berupa kemampuan untuk selalu melihat yang baik. Memulai setiap surat dengan ucapan syukur berarti mampu menilai semua segi positif yang ada dalam jemaah yang ia tulisi surat, juga bila kemudian ternyata ada hal-hal yang parah dan yang negatif. Pada permulaan surat pertama kepada jemaah di Korintus jemaahnya dipuji sebagai jemaah yang penuh anugerah dan penuh hikmat, lalu menyusul kecaman-kecaman. Meskipun begitu ia bukannya tidak konsekuen. Mata imannya memungkinkan dia melihat, bahwa sebutir iman yang ada pada kaum kafirnya yang bertobat itu merupakan anugerah begitu besar, sehingga ia memuji Allah tak henti-hentinya. Gembala yang matang memiliki kemampuan mengakui adanya yang baik di sekitarnya dan kemampuan mengungkapkannya secara sederhana.
Sikap yang ketiga ialah pujian. Dalam tulisan-tulisan Paulus kita dapati pujian-pujian mengagumkan yang merupakan kelanjutan tradisi berkat Yahudi. Paulus mampu meluaskannya sehingga mencakup semua segi kehidupan jemaah dalam Kristus. Misalnya, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” (Ef 1:3). Doa Paulus, sebagaimana itu kita kenal dari surat-suratnya, merupakan pujian. Memang doa itu juga menjadi doa syafaat, tetapi secara spontan yang terungkap pertama kalinya adalah pujian. Dengan demikian ia dapat menghargai saat-saat hidupnya yang paling gelap, “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.” (2 Kor 1:3-4).
Kita dapat menggunakan kalimat-kalimat itu sebagai cermin untuk bertanya diri, apakah kita dapat mengucapkannya sebagai ungkapan isi hati kita sendiri yang terdalam, ataukah kita malahan merasa berat untuk mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu.
Rahmat yang perlu kita mohon pada Allah ialah supaya sikap-sikap khas gembala yang telah ditransfigurasikan oleh Kristus yang bangkit itu menjadi pengalaman kita terus menerus. Setan selalu mencobai kita supaya kita jatuh kembali dalam bentuk-bentuk hidup yang duniawi, kesedihan merupakan ciri orang yang hidupnya tanpa harapan. Kesedihan itulah yang pada dasarnya mencari pelarian, hiburan dan segalanya yang tampaknya membuat hidup senang karena tidak mau menghadapi kesedihan itu sendiri.
(“Le Confessioni di Paulo”, karya Kardinal Mgr. Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano – Kesaksian Santo Paulus, diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata OSCO)
-       Misteri Damsyik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar